Laporan  yang berjudul Potret Positif Punk Bandung ini mengangkat tema komunitas  Punk di Indonesia dengan studi kasus komunitas Punk di Bandung. Secara  garis besar, laporan ini memaparkan tentang masalah yang melatar  belakangi pemilihan tema Punk, data mengenai Punk, fakta yang ada di  lapangan, analisa masalah dan penjelasan mengenai solusi dari  permasalahan tersebut. Hasil akhir dari tugas akhir ini adalah buku  kumpulan esai foto kehidupan sehari-hari komunitas Punk yang jarang  diketahui oleh masyrakat umum.
  
Punk,  sebuah komunitas yang sering diasumsikan sebagai sekumpulan orang yang  tidak memiliki masa depan dan penuh dengan kekerasan dengan dandanan  yang berantakan dan bergaya seperti preman. Komunitas yang hanya  menimbulkan keresahan bagi masyarakat sekitar.
  
Dengan  dibuatnya Tugas Akhir yang berjudul Potret Positif Punk Bandung,  penulis berusaha menangkap sisi-sisi positif Punk kota Bandung kepada  masyarakat luas. Beberapa komunitas Punk di Bandung justru melakukan  banyak kegiatan-kegiatan positif yang membantu orang-orang di  sekitarnya, dimana tindakan tersebut justru berpegang pada nilai-nilai  dasar Punk. Buku Keraskan Kepala berusaha memberikan gambaran mengenai  substansi Punk yang sesungguhnya dengan harapan dapat meluruskan  kesalahpahaman yang telah lama melekat erat di kepala masyarakat.
  
Pesan  moral yang ingin disampaikan sebenarnya sederhana dan klise yaitu  janganlah menilai suatu hal atau seseorang berdasarkan pada kulit  luarnya saja tapi telaahlah dengan lebih dalam dan seksama maka  penilaian yang sesungguhnya bisa disimpulkan. Kadang suatu hal yang  terkesan buruk atau tidak berguna sehingga dipandang sebelah mata  ternyata memiliki kelebihan kelebihan lain yang tidak pernah disadari  sebelumnya.
  
Penulis  menyadari bahwa buku "Keraskan Kepala-Potret Positif Punk Bandung" ini  jauh dari kesempurnaan. Pada proses pembuataanya, penulis mendapat  banyak masukan dan kritik membangun dari berbagai pihak termasuk ketika  saat sidang akhir. Kritik tersebut antara lain; kurangnya kedalaman  makna teks sehingga memberikan kesan buku terlalu dokumentatif,  pengaturan kontras hitam putih foto yang dirasa kurang digarap, dan  banyak masukan lainnya.
  
Penulis  sangat menghargai dan memperhatikan masukan dan kritik tersebut sebagai  bagian dari proses pembelajaran yang harus dilalui. Semoga dengan  selesainya tugas akhir ini, penulis dapat menyumbangkan sesuatu yang  berguna bagi masyarakat. 
  
Satu hal yang perlu dicermati mengenai eksistensi komunitas underground Bandung  yaitu semangat militansi untuk terus mencari ruang ekspresi. Pergeseran  budaya militansi yang sempat hilang dalam komunitas underground  dan tergantikan dengan banyaknya sistem nilai ekonomi membuktikan bahwa  semangat yang telah hilang ini bisa menjadi solusi pemecahan untuk  eksistensi komunitas underground itu sendiri. Karena bagaimanapun  komunitas ini awalnya hidup dari semangat militansi untuk membuat  potensi berkreativitas tetap hidup, meski seringkali terhambat oleh  halangan birokrasi yang ada.
  
Pasca tragedi AACC, eksistensi komunitas underground seperti hilang ditelan bumi dengan minimnya konser berlangsung akibat sulitnya memperoleh izin dan kurangnya venue representatif. Kini semangat untuk tetap militan yang membuat eksistensi komunitas ini terus hidup bernafas. 
  
Konser yang dibikin ilegal, menjadi salah satu jiwa militansi komunitas underground  tetap hidup berekspresi saat ini. Tentu saja ilegal dalam konteks ini  berarti tanpa perlunya perizinan birokrasi dan segala tetek bengek  administrasi. “Dari awalnya juga komunitas underground ini kan  bermodalkan semangat militan. Apalagi ketika adanya tindakan represif  dari pihak pemerintah dan birokrat, semangat militansi itu semakin  muncul. Jika konser musik underground dilarang, kenapa kita tidak  bikin konser secara ilegal saja. Jadinya semangat militansi itu yang  muncul. Sederhananya yang penting konser jadi dan komunitas tetap  berkarya, “ ujar Addy Gembel, vokalis band metal Forgotten yang seringkali terlibat dalam beberapa konser ilegal. 
  
Menurut Addy, fenomena konser ilegal memang seringkali dibikin oleh komunitas underground  bahkan jauh sebelum Tragedi AACC terjadi. Biasanya fenomena ini muncul  ketika adanya keribetan dalam paparan birokrasi. “Yang penting konser  jadi. Dibikin secara sederhana pun sudah oke, karena tujuan sebenarnya  menjadikan konser itu sebagai media komunikasi antar komunitas. Tidak  berpikir sebagai sistem ekonomi yang mesti ada profitnya,” lanjut Addy  menambahkan. 
  
Sebut  saja Kampus UPI, UNPAR, ITENAS, Studio Gramma, Studio Jawara, Villa  Putih Lembang, Student’s Cafe Taman Sari yang senantiasa menjadi venue alternatif untuk menyelenggarakan konser ilegal. Bagi komunitas underground ini tempat kecil dan pengap juga tidak masalah. Perihal sound system seadanya juga bukan hal yang patut dipikirkan. Bahkan dibikin secara patungan untuk bayar sewa tempat dan sound  pun menjadi hal yang lumrah. Karena bagi mereka rasa persatuan  komunitas yang lebih diutamakan. “Yang penting komunitas eksis aja  dulu,” ujar Themfuck, vokalis band punk Jeruji yang seringkali tampil di Villa Putih Lembang. Venue tersebut menjadi salah satu langganan komunitas punk untuk menggelar konser. Bahkan tempat Villa Putih seringkali menjadi pilihan ketika ada band punk internasional yang mau manggung di Bandung yang dibikin tentu saja dalam skala terbatas. 
  
Komunitas metal pun tak jauh beda. Apalagi komunitas metal  ini tengah banyak disorot membuat eksistensi komunitas ini seolah sulit  bergerak untuk menemukan ruangnya. “Pasca Tragedi AACC, ketika  komunitas metal sulit mendapatkan panggung, kita pernah bikin  konser ilegal di basemen Kampus Itenas dan kerjasama dengan mahasiswa  setempat,” ujar Addy Gembel.
  
“Kita pernah bikin acara konser metal di Rancaekek. Dan rencananya kita bakal bikin konser ilegal secara rutin di tempat tersebut,” ujar Amenk, vokalis band metal Disinfected yang sering menginisiasi konser ilegal. Saat ini komunitas-komunitas underground  lebih memilih tempat yang jauh dari pusat kota, seperti halnya Lembang  atau Rancaekek. Apalagi belum adanya tempat representatif di kota  Bandung dan berbelitnya proses birokrasi membuat komunitas underground menggeser ruang ekspresinya di pinggiran Kota Bandung. 
  
Namun,  tak lantas konser ilegal jadi semacam jalan keluar yang pasti. Rasa  takut yang muncul akibat adanya pembubaran paksa atau protes warga  setempat bisa jadi masalah bagi semangat militansi yang terus meluap.  “Rasa takut atau perasaan khawatir selalu ada. Takut lagi enak-enaknya  menikmati konser tiba-tiba dibubarin kan jadi hal yang tidak kita  inginkan,” ujar Yongky yang pernah membuat konser musik hardcore/punk  secara ilegal di basement Student’s Café Taman Sari. Yongky  menambahkan, sempat ada protes warga perihal konser tersebut akibat  adanya salah komunikasi. Apalagi konsernya itu dibikin di daerah  pemukiman padat. 
  
“Sebenarnya  birokrasi masih agak ribet kalau mau bikin acara secara legal. Tapi  asal sesuai prosedur yang disepakati oleh pihak berwajib, sebenarnya  izin pasti turun dan gratis pula,” tutur Reza Ferdian, Ketua Panitia event organizer Sodom Movement yang mendatangkan band punk rock asal Inggris, Extreme Noise Terror beberapa waktu lalu. 
  
Menurut  Addy Gembel, jika saja tidak adanya kemacetan di level birokrasi dan  pihak-pihak tertentu yang bisa mengakomodir komunitas underground sebagai potensi berkreativitas yang layak, bukan lantas memusuhi segala bentuk ekspresi komunitas underground.  Apalagi konser ilegal di Studio Gramma pernah dibubarkan oleh pihak  berwajib. Addy menambahkan bahwa dengan pembubaran konser ilegal menjadi  sesuatu yang kontra-produktif. Justru seharusnya potensi kreativitas  ini yang semestinya diakomodir. Jika semakin dikekang, komunitas ini  bisa semakin militan.  
  
Sayangnya, semangat militansi komunitas underground saat ini tidak merambah pada infrastruktur komunitas underground macam zines, indie label, event organizer  (EO), dll. Padahal infrastruktur seperti itu bisa menjadi indikasi  positif mengenai perkembangan komunitas underground. Minimnya zines bisa jadi salah satu indikasi betapa ada satu sistem yang salah dalam komunitas underground saat ini. 
  
Kimung, editor zines Minorbacaankecil berpendapat, “Perkembangan zines di Bandung saat ini kurang banget. Sangat sedikit zines yang eksis. Padahal zines bagus untuk membangun sense of belonging  dalam sebuah komunitas”. Kimung menambahkan ada semacam sistem dalam  komunitas underground yang hilang saat ini. “Kalo melihat dari  sejarahnya kan pengembangan komunitas itu ada langkah-langkahnya kayak ngumpul, ngobrol, diskusi, bikin zines, rekaman, bikin indie label, bikin konser, dsb. Nah, langkah-langkah itu ada yang hilang, salah satunya pembuatan zines tersebut,” lanjut penulis buku Myself Scumbag ini. 
  
Semangat militansi yang hilang, menurut Kimung, bisa diakibatkan masalah kurangnya kesadaran dari para pelaku komunitas underground.  Salah satunya mengapa lemahnya infrastruktur dalam komunitas  underground saat ini kurangnya kesadaran untuk berbagi informasi antara  komunitas satu dengan komunitas yang lain lewat jejaring yang dibangun.  Padahal dengan adanya media komunikasi seperti zines bisa membangun keberlansungan komunitas ke arah yang lebih kuat.  
  
Potensi Komunitas 
  
Selain militansi, satu potensi komunitas underground  Bandung saat ini yang dimiliki yaitu kekayaan komunitas yang ada  didalamnya. Beragam komunitas yang dibangun menunjukkan satu potensi  berkreativitas yang lebih kaya. “Bandung memiliki beragam komunitas underground. Beragam komunitas lebih bersifat komunal, dan kedepannya diharapkan bisa bersatu. Contohnya, kayak Helar Fest  yang menyatukan berbagai komunitas di Bandung. Semangat persatuan ini  yang dibutuhkan agar potensi berkreativitas Bandung menuju ke arah lebih  baik. Mungkin bakal ada konflik, tapi itu bakal menciptakan komunitas  lebih kritis, hidup, dan ramai,” ujar Kimung menjelaskan. 
  
Komunitas-komunitas underground macam punk, hardcore, metal, pop, elektronik,  dll.  mulai rutin menggelar konser musik. Setelah sebelumnya seolah  mati suri akibat kekangan birokrasi dampak dari Tragedi AACC.  Komunitas-komunitas yang kian banyak dan solid ini bakal menumbuhkan  suatu potensi berkreativitas yang kaya. 
  
Komunitas musik elektronik, Openlabs  misalnya, rutin menggelar acara musik elektronik di Prefere Café tiap  awal bulan sejak dua bulan lalu, “perkembangan musik elektronik Bandung  juga semakin banyak. Kayak even Electric Youth yang sudah jadi acara regular tiap awal bulan di Prefere Café. Open Labs sendiri memiliki jadwal acara regular bernama The Ostend tiap tiga bulan sekali,” tutur Okky Raditya, pegiat komunitas elektronik Open Labs. Salah satu agenda berikutnya komunitas ini yaitu event Nu-Substance, yang jadi salah satu agenda helatan akbar Helar fest. “Tujuan dari Nu-Substance  sendiri pengen memberi tahu pada mata dunia internasional tentang  potensi Bandung sebagai kota kreatif terutama dalam bidang musik  elektronik, namun secara tujuan atau misi kita khususnya pengen  mengedukasi masyarakat soal musik.Yah, meningkatkan apresiasi masyarakat  terhadap musik elektronik,” sambungnya. 
  
Komunitas-komunitas lainnya pun tak mau kalah. Komunitas musik grunge atau komunitas Purna mulai rutin menggelar konser launching album di Twank Café. Kemudian komunitas death-metal  atau komunitas Bandung Death Metal Sindikat (BDSM) yang juga bagian  dari komunitas Ujungberung Rebels bakal menggelar konser musik death-metal akbar bernama Deathfest untuk ketigakalinya. Acara Deathfest sendiri masuk dalam agenda Helar Fest. 
  
“Kita ingin memadukan tradisi sunda dengan musik death metal.  Karena zaman sekarang tradisi lokal dilupakan oleh anak-anak muda saat  ini. Membawa kreativitas dan kearifan lokal lebih berbicara banyak,”  ujar Okid, salah satu pegiat komunitas Bandung Death Metal Sindikat dan  panitia Deathfest. 
  
Untuk membuat potensi komunitas underground tetap hidup salah satunya yaitu regenerasi di dalam komunitas itu sendiri. Regenerasi antar pelaku-pelaku di dalam komunitas underground pun perlu dilakukan. “Komunitas punk terus bergerak dan berkembang. Yang manggung di Villa Putih pun tak hanya didominasi band lama, tapi banyak band punk baru yang sudah mulai tampil,” ujar Themfuck Jeruji menjelaskan. Hal yang sama pun terjadi di komunitas metal. “Saat ini komunitas Ujungberung Rebels sedang membuat kompilasi musik death metal,  ‘Panceg Dina Jalur’ yang berisikan 22 band lama dan band baru. Tapi  didominasi oleh band-band metal generasi saat ini. Banyak baru yang  potensial. Mereka hanya kurang mendapat perhatian saja, untuk eksisnya  pun hanya mengandlakan konser ilegal, Do It Yourself (DIY) di studio-studio,” papar Man, vokalis band metal Jasad. 
  
Perpaduan antara militansi dan potensi komunitas menjadi salah satu bukti bahwa komunitas underground  Bandung ini terus mencari ruang ekspresi, tanpa mempedulikan batu-batu  kerikil yang mungkin mengganggu perjalanan mereka. Jika pada era 90-an  komunitas underground bersifat militan karena dipengaruhi oleh  kondisi sosial politik saat itu, kini sifat militansi muncul akibat  kebebasan berekspresi yang dinginkan oleh komunitas underground tanpa ada batasan dan kekangan.  
  
“Kayak ada semacam sejarah berulang soal militansi dan potensi komunitas underground  saat ini dengan era sebelumnya. Namun zaman sekarang sama zaman dulu  cuman beda budayanya saja,” ujar Kimung. Sementara Addy Gembel  menambahkan, “ fenomena ini mirip perputaran pertengahan tahun 90-an.  Ketika kita kesulitan untuk mengakses sesuatu, justru militansi yang  semakin timbul. Potensi komunitas underground pun semakin banyak dan  kian solid.” (@ Gifran M. Asri).