.:: Kriminalisasi Punk ::.

Langkah-langkah yang diambil pemerintah dan kepolisian dalam menangani komunitas punk terdapat beberapa kekeliruan. Sejak awal pemerintah dan kepolisian telah lebih dulu memberikan stigma negatif kepada komunitas punk sebagai perusuh, pembuat kekacauan dan pelaku kriminal. Seperti yang dikemukakan Kapolda Aceh Irjen Pol Iskandar Hasan, bahwa komunitas punk merupakan sumber penyakit masyarakat (Serambi Indonesia, 12/02/11). Pernyataan Kapolda Aceh tersebut sama artinya dengan menyeragamkan komunitas punk dengan pekerja seks komersial (PSK), pengedar narkotika, bahkan koruptor yang sejatinya sumber penyakit masyarakat.

Dalam kajian kriminologi dikenal teori Labeling yang dikemukakan oleh Micholowsky. Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku seseorang atau kelompok yang dicap jahat menyebabkan orang/kelompok itu juga diperlakukan sebagai penjahat. Kemudian, terdapat kecenderungan di mana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya. Teori ini menyimpulkan bahwa “Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tetapi karena ditetapkan demikian oleh penguasa” (Prof. Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara; 2008).
Persis seperti yang dialami komunitas punk saat ini. Komunitas punk yang diberikan label jahat oleh pemerintah dan kepolisian pada akhirnya diperlakukan sebagai penjahat. Seperti yang kita lihat saat belasan anak punk dicukur rambutnya oleh Satpol PP (Serambi Indonesia, 11/02/11). Bagi anak punk, rambut merupakan salah satu simbol identitas mereka. Tapi kemudian pemerintah menilai rambut gaya punk sebagai bagian dari bentuk kejahatan yang harus dihilangkan. Inilah bentuk kriminalisasi punk!
Bukan hanya rambut yang dicukur, anak-anak punk yang ditangkap juga ditahan di dalam sel tahanan Satpol PP. Pola penanganan itu akan membawa dampak secara psikologis ke kejiwaan. Karena perlakuan yang mereka terima sama dengan pelaku tindak kejahatan lain. Sedangkan para koruptor saja masih bebas berkeliaran. Lambat laun, perlakuan dan kecenderungan penguasa yang memberikan stigma negatif, akan menjadikan komunitas punk akan menyesuaikan diri dengan stigma dan label yang diberikan. Apabila itu terjadi maka musnahlah stigma umum bahwa punk adalah komunitas gerakan sub culture yang hadir sebagai kritik sosial atas kondisi yang terjadi. Kritik yang disampaikan lewat musik, lirik lagu dan ragam seni lain. Termasuk cara mereka berpakaian juga menjadi bagian dari kritik; sepatu boots dilambangkan anti militerisme dan penindasan, rantai sebagai simbol persatuan, celana gantung-baju lusuh lambang kesederhanaan dan anti kemapanan, serta rambut Mohawk diadopsi dari model rambut suku Indian Mohawk di Amerika yang dijajah kolonialisme Inggris. Jadi, fashion yang mereka gunakan bukan tanpa makna, melainkan bagian dari kritik sosial mereka terhadap kondisi yang dialami masyarakat dunia.
Upaya paling tidak tepat adalah ide yang dikemukakan oleh Kapolda Aceh, bahwa anak-anak punk yang tertangkap akan dibina di Pusat Pendidikan (Pusdik) Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah. SPN Seulawah yang notabene nya merupakan tempat pendidikan prajurit polisi yang sedang belajar ilmu kepolisian, keamanan dan latihan fisik ala militer, dijadikan tempat pembinaan anak-anak punk yang hidup dijalanan dengan watak dan kepribadian yang “tak lazim”.
Kepolisian sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian memang memiliki fungsi pengayoman masyarakat, namun bukan berarti kepolisian lantas bisa serta merta membina anak punk dan membawa mereka ke SPN Seulawah. Harus diingat bahwa dominasi anak punk berusia remaja. Mereka dilindungi oleh UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Seharusnya bukan kepolisian yang berkewajiban untuk membina mereka, melainkan Dinas Sosial atau lembaga lain yang diberikan kewenangan oleh UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak untuk mengurusi dan membina anak-anak punk yang oleh pemerintah diasumsikan dalam kategori kenakalan remaja.
Apabila pemerintah dan kepolisian tetap bersikukuh untuk mendidik anak-anak punk di SPN Seulawah, harus dijelaskan apakah Kapolda sudah menyiapkan polisi yang ahli dalam ilmu psikologi remaja dan memahami punk secara benar? Apakah Polda Aceh memiliki anggaran biaya pembinaan dan makanan yang layak bagi ratusan anak punk?  Pun bila anak-anak punk jadi dikirim ke SPN Seulawah, kepolisian termasuk pemerintah mempunyai celah untuk dituntut pidana karena telah melanggar hak-hak anak sebagaimana diatur dalam Bab XII Pasal 77 UU Perlindungan Anak.
Terus terang saya khawatir apabila kebijakan tersebut sampai dilaksanakan. Kekhawatiran utama adalah anak-anak punk tersebut rawan menjadi korban tindak kekerasan. Watak mereka yang keras dan cenderung melawan berpotensi menghilangkan kesabaran polisi yang membina, ujung-ujungnya mereka bisa menjadi “samsak hidup” aparat kepolisian. Apabila sampai terjadi tentu saja hal ini merupakan bentuk pelanggaran HAM serius. Kekhawatiran diatas barangkali dapat menjadi early warning bahwa pemerintah harus memilih langkah yang tepat dalam menangani masalah komunitas punk ini.
Pahami Masalah
Pemerintah semestinya harus memahami dengan baik duduk permasalahan dan konteks sosial perkembangan komunitas punk di Aceh. Misalnya, menyeragamkan komunitas punk dengan geng motor tidak tepat. Walau sama-sama hidup di jalanan, mereka memiliki ciri, ekspresi, kreasi bahkan idiologi yang sama sekali berbeda. Dengan ciri khas tersendiri, punk mengekspresikan diri lewat fashion dan musik. Melalui kreasi lagu-lagu kritik sosial, dan mengusung idiologi pembebasan dan anti kemapanan. Sedangkan geng motor, juga dengan ciri khas tersendiri, mengekspresikan diri lewat sepeda motor dan ngebut dijalanan. Kreasi mereka adalah modifikasi motor. Mulai dari modifikasi motor yang sedap dipandang mata hingga yang memekakkan telinga. Dan geng motor memiliki “solidaritas” ala geng yang menjadi pedoman komunitas mereka.
Bukan hal baru kedua komunitas ini di identikkan dengan pelaku kriminal. Di kota besar seperti Jakarta, komunitas punk kerap terlibat dengan perkelahian. Geng motor juga demikian, masyarakat sempat digegerkan dengan aksi tawuran genk motor yang terjadi di Bandung pada tahun 2009. Namun akhirnya geng motor Bandung berhasil dibujuk oleh aparat kepolisian untuk menghentikan tindakan anarkis dan memberikan seruan damai (tempointeraktif,2010). Hal tersebut membuktikan bahwa komunitas punk atau genk motor punya kesempatan untuk diajak berdialog dan diberikan kesempatan untuk memperlihatkan kreativitas positif yang mereka miliki.
Di Banda Aceh, komunitas punk dan geng motor adalah dua komunitas yang sebenarnya sudah lama ada dan mengalami pasang surut eksistensi. Khusus bagi komunitas punk, saya melihat mereka sudah ada sejak tahun 2000. Mereka memilih berkreasi di jalur musik. Tampil dari panggung festival satu ke panggung festival yang lain. Berkumpul di tempat publik seperti Taman Budaya atau taman Putroe Phang sambil menulis lirik dan menciptakan lagu. Baru sekarang komunitas punk begitu berkembang pesat.
Saya sempat berinteraksi dengan Juanda alias Lowbet dari komunitas punk Tanggoel Rebel. Juanda menuturkan, “anak punk sekarang banyak yang berasal dari Medan. Di Medan mereka kehilangan ‘lapak’. Anak-anak punk Medan yang kemari bertahan hidup dijalan dengan mengamen”. Kehadiran anak-anak punk dari Medan tidak dapat diartikan bahwa punk di Aceh berkembang karena dipengaruhi anak punk dari daerah lain. Karena punk sendiri adalah sebuah ideologi yang dapat terus berkembang menembus batas geografis dan demografis.
Maka, pemerintah dan kepolisian seharusnya dapat jeli melihat dan membaca dinamika komunitas punk atau genk motor sekarang. Tidak semua yang urakan adalah anak punk. Tidak semua yang ngebut adalah geng motor. Dan tidak semua yang berkomplotan di jalan dan membuat kerusuhan adalah keduanya. Bisa jadi salah satu diantara mereka. Atau bisa pula kelompok kriminal murni.
Menggunakan cara-cara represif seperti merazia, menangkap, mencukur paksa, dan menahan anak-anak punk bukanlah cara bijak. Mereka yang berkarakter pemberontak pasti akan makin kuat dan terus bertambah jumlahnya. Karena merasa telah menemukan “lawan”, yang selama ini menjadi bagian dari lirik lagu kritik sosial mereka. Jika sekarang jumlahnya ratusan,  apabila terus direpresif yakinlah kalau nanti jumlahnya akan menjadi ribuan. Anak-anak punk tentu tidak akan membela diri dengan ber-argumen tentang hak warga negara, berkumpul dan berekpresi dilindungi konstitusi, atau berlindung dibawah hukum dan sistem negara. Karena sejak awal mereka adalah kelompok yang tidak percaya akan hukum maupun negara. Mereka akan melawan dengan cara-cara mereka sendiri, dengan lirik kritik sosial yang mereka cipta.
Lebih bijak apabila pemerintah dan kepolisian mengajak berdialog komunitas punk atau geng motor. Tanya apa keinginan mereka. Fasilitasi keinginan mereka untuk berekspresi namun tetap berada dalam koridor hukum. Identifikasi mana-mana kelompok yang memang melakukan tindakan kriminal, seperti geng motor Dabaribo yang melakukan penikaman terhadap pelajar SMA. Kemudian ambil tindakan-tindakan preventif untuk mencegah tindakan kriminal terulang, bukan dengan kriminalisasi. Siapapun yang bertindak kriminal wajib dihukum. Kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat harus dipenuhi. Menghadapi anak punk atau genk motor yang dalam usia remaja harus dipikirkan metode penyelesaian komprehensif dan cara yang lebih bijak, bukan represif tapi persuasif. [] M. FAUZAN FEBRIANSYAH | Aktivis, Paralegal LBH Banda Aceh

.:: Pengaruh Komunitas Punk Bagi Remaja Indonesia ::.

Komunitas yang satu ini memang sangat berbeda sendiri dibandingkan dengan komunitas pada umumnya. Banyak orang yang menilai bahwa komunitas yang satu ini termasuk salah satu komuitas yang urakan, berandalan dan sebagainya. Namun jika dicermati lebih dalam banyak sekali yang menarik yang dapat Anda lihat di komunitas ini. Komunitas ini bukan hanya sekedar nongkrong di pinggir jalan, berpakaian aneh, gak pernah mandi, dan seterusnya, tetapi komunitas ini banyak melahirkan karya-karya yang bisa mereka banggakan. Di bidang musik misalnya, banyak band punk yang mampu mendapat tempat di hati remaja Indonesia, mereka tidak kalah dengan band-band cengeng yang selalu merengek-rengek, bahkan sampai nangis kayak cewek untuk mendapatkan tempat di hati remaja Indonesia. Band punk sendiri sangat identik dengan indie label, dengan modal yang minim band-band punk bisa terus exis di belantika musik tanah air tercinta, bahkan sampai ke level yang lebih tinggi, yaitu go international. Selain di bidang musik, komunitas punk juga bergerak di bidang fashion, awalnya mereka hnya membuat pakaian untuk mereka pakai sehari-hari, seiring dengan berjalannya waktu, mereka membuat dengan jumlah yang lebih banyak dan juga desain yang lebih variatif. Wadah untuk pakaian yang diproduksi sendiri oleh anak-anak punk sendiri biasa disebut distro, di industri ini pun komunitas punk mampu bersaing dengan produk-produk terkenal yang sudah akrab dengan remaja Indonesia. Di distro sendiri juga tidak hanya menjual pakaian, banyak aksesoris-aksesoris buatan anak-anak punk juga yang dijual di distro. Tidak hanya itu, distro sendiri juga dijadikan senjata untuk publikasi band-band punk yang sudah menpunyai album, pokoknya apa yang dilakukan komunitas punk tidak main-main, semuanya tertata rapi, yang aku tau sih itu namanya simbiosismutualisme. Jadi, jangan heran kalau remaja Indonesia dibilang gak keren karena belum belanja di distro. Tidak berhenti di situ, dengan gaya yang seperti itu, jangan sampai Anda bilang komunitas punk itu “gaptek” (gagap teknologi), dunia maya juga menjadi salah satu jalur perkembangan komunitas punk.
Perkembangan scene punk, komunitas, gerakan, musik, dan lainnya, yang paling optimal adalah di Bandung, disusul Malang, Yogyakarta, Jabotabek, Semarang, Surabaya, dan Bali. Parameternya adalah kuantitas dan kualitas aktivitas, bermusik, pembuatan fanzine (publikasi internal), movement (gerakan), distro kolektif, hingga pembuatan situs.Meski demikian, secara keseluruhan, punk di Indonesia termasuk marak. Profane Existence, sebuah fanzine asal Amerika menulis negara dengan perkembangan punk yang menempati peringkat teratas di muka Bumi adalah Indonesia dan Bulgaria. Bahwa `Himsa`, band punk asal Amerika sampai dibuat berdecak kagum menyaksikan antusiasme konser punk di Bandung. Di Inggris dan Amerika, dua negara yang disebut sebagai asal wabah punk, konser punk yang sering diadakan disana hanya dihadiri tak lebih seratus orang. Sedangkan di sini, konser punk bisa dihadiri ribuan orang. Mereka kadang reaktif terhadap publikasi pers karena khawatir diekploitasi. Pers sebagai industri, mereka anggap merupakan salah satu mesin kapitalis. Mereka memilih publikasi kegiatan, konser, hingga diskusi ide-ide lewat fanzine.
Sebagaimana telah difahami, bahwa dalam perkembangannya manusia akan melewati masa remaja. Remaja adalah anak manusia yang sedang tumbuh selepas masa anak-anak menjelang dewasa. Dalam masa ini tubuhnya berkembang sedemikian pesat dan terjadi perubahan-perubahan dalam wujud fisik dan psikis. Badannya tumbuh berkembang menunjukkan tanda-tanda orang dewasa, perilaku sosialnya berubah semakin menyadari keberadaan dirinya, ingin diakui, dan berkembang pemikiran maupun wawasannya secara lebih luas. Mungkin kalau kita perkirakan umur remaja berkisar antara 13 tahun sampai dengan 25 tahun. Pembatasan umur ini tidak mutlak, dan masih bisa diperdebatkan.
Masa remaja adalah saat-saat pembentukan pribadi, dimana lingkungan sangat berperan. Kalau kita perhatikan ada empat faktor lingkungan yang mempengaruhi remaja:
1. Lingkungan keluarga.
Keluarga sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan remaja. Kasih sayang orang tua dan anggota keluarga yang lain akan memberi dampak dalam kehidupan mereka. Demikian pula cara mendidik dan contoh tauladan dalam keluarga khususnya orang tua akan sangat memberi bekasan yang luar biasa.
Seorang remaja juga memerlukan komunikasi yang baik dengan orang tua, karena ia ingin dihargai, didengar dan diperhatikan keluhan-keluhannya. Dalam masalah ini, diperlukan orang tua yang dapat bersikap tegas, namun akrab (friendly). Mereka harus bisa bersikap sebagai orang tua, guru dan sekaligus kawan. Dalam mendidik anak dilakukan dengan cara yang masuk akal (logis), mampu menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, melakukan pendekatan persuasif dan memberikan perhatian yang cukup. Semua itu tidak lain, karena remaja sekarang semakin kritis dan wawasannya berkembang lebih cepat akibat arus informasi dan globalisasi.
2. Lingkungan sekolah.
Sekolah adalah rumah kedua, tempat remaja memperoleh pendidikan formal, dididik dan diasuh oleh para guru. Dalam lingkungan inilah remaja belajar dan berlatih untuk meningkatkan kemampuan daya pikirnya. Bagi remaja yang sudah menginjak perguruan tinggi, nampak sekali perubahan perkembangan intelektualitasnya. Tidak hanya sekedar menerima dari para pengajar, tetapi mereka juga berfikir kritis atas pelajaran yang diterima dan mampu beradu argumen dengan pengajarnya.
Dalam lingkungan sekolah guru memegang peranan yang penting, sebab guru bagaikan pengganti orang tua. Karena itu diperlukan guru yang arif bijaksana, mau membimbing dan mendorong anak didik untuk aktiv dan maju, memahami perkembangan remaja serta seorang yang dapat dijadikan tauladan. Guru menempati tempat istimewa di dalam kehidupan sebagian besar remaja. Guru adalah orang dewasa yang berhubungan erat dengan remaja. Dalam pandangan remaja, guru merupakan cerminan dari alam luar. Remaja percaya bahwa guru merupakan gambaran sosial yang diharapkan akan sampai kepadanya, dan mereka mengambil guru sebagai contoh dari masyarakat secara keseluruhan. Dan remaja menyangka bahwa semua orang tua, kecuali orang tua mereka, berfikir seperti berfikirnya guru-guru mereka.
3. Lingkungan teman pergaulan.
Teman sebaya adalah sangat penting sekali pengaruhnya bagi remaja, baik itu teman sekolah, organisasi maupun teman bermain. Dalam kaitannya dengan pengaruh kelompok sebaya, kelompok sebaya (peer groups) mempunyai peranan penting dalam penyesuaian diri remaja, dan bagi persiapan diri di masa mendatang. Serta berpengaruh pula terhadap pandangan dan perilakunya. Sebabnya adalah, karena remaja pada umur ini sedang berusaha untuk bebas dari keluarga dan tidak tergantung kepada orang tua. Akan tetapi pada waktu yang sama ia takut kehilangan rasa nyaman yang telah diperolehnya selama masa kanak-kanaknya.
4. Lingkungan dunia luar.
Merupakan lingkungan remaja selain keluarga, sekolah dan teman pergaulan, baik lingkungan masyarakat lokal, nasional maupun global. Lingkungan dunia luar akan memperngaruhi remaja, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik itu benar maupun salah, baik itu islami maupun tidak. Lingkungan dunia luar semakin besar pengaruhnya disebabkan oleh faktor-faktor kemajuan teknologi, transportasi, informasi maupun globalisasi.
Pada masa remaja, emosi masih labil, pencarian jati diri terus menuntut untuk mencari apa potensi yang ada di dalam diri masing-masing. Pada masa inilah seseorang sangat rapuh, mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Seiring dengan pesatnya perkembangan scane punk yang ada di Indonesia, komunitas punk mampu menyihir remaja Indonesia untuk masuk ke dalam komunitas punk. Tetapi tidak semua remaja Indonesia tertarik dengan apa yang ada di dalam punk itu sendiri. Sebagian remaja di Indonesia hanya mengkonsumsi sedikit yang ada di dalam punk. Contoh kecil, seorang remaja berpakaian ala punk, tetapi dia tidak idealis, dia tidak menganut paham ideologi punk, dia juga suka musik cengeng yamg lembut bak seorang bayi yang baru keluar dari rahim ibunya. Dari contoh kecil tersebut, komunitas punk masih bisa dibilang sangat berpengaruh terhadap perilaku remaja Indonesia, bahkan bisa dibilang mempunyai andil dan bertanggung jawab terhadap kebebasan berekspresi remaja Indonesia.

.:: Potret Positif Punk Kota Bandung ::.

Laporan yang berjudul Potret Positif Punk Bandung ini mengangkat tema komunitas Punk di Indonesia dengan studi kasus komunitas Punk di Bandung. Secara garis besar, laporan ini memaparkan tentang masalah yang melatar belakangi pemilihan tema Punk, data mengenai Punk, fakta yang ada di lapangan, analisa masalah dan penjelasan mengenai solusi dari permasalahan tersebut. Hasil akhir dari tugas akhir ini adalah buku kumpulan esai foto kehidupan sehari-hari komunitas Punk yang jarang diketahui oleh masyrakat umum.
Punk, sebuah komunitas yang sering diasumsikan sebagai sekumpulan orang yang tidak memiliki masa depan dan penuh dengan kekerasan dengan dandanan yang berantakan dan bergaya seperti preman. Komunitas yang hanya menimbulkan keresahan bagi masyarakat sekitar.
Dengan dibuatnya Tugas Akhir yang berjudul Potret Positif Punk Bandung, penulis berusaha menangkap sisi-sisi positif Punk kota Bandung kepada masyarakat luas. Beberapa komunitas Punk di Bandung justru melakukan banyak kegiatan-kegiatan positif yang membantu orang-orang di sekitarnya, dimana tindakan tersebut justru berpegang pada nilai-nilai dasar Punk. Buku Keraskan Kepala berusaha memberikan gambaran mengenai substansi Punk yang sesungguhnya dengan harapan dapat meluruskan kesalahpahaman yang telah lama melekat erat di kepala masyarakat.
Pesan moral yang ingin disampaikan sebenarnya sederhana dan klise yaitu janganlah menilai suatu hal atau seseorang berdasarkan pada kulit luarnya saja tapi telaahlah dengan lebih dalam dan seksama maka penilaian yang sesungguhnya bisa disimpulkan. Kadang suatu hal yang terkesan buruk atau tidak berguna sehingga dipandang sebelah mata ternyata memiliki kelebihan kelebihan lain yang tidak pernah disadari sebelumnya.
Penulis menyadari bahwa buku "Keraskan Kepala-Potret Positif Punk Bandung" ini jauh dari kesempurnaan. Pada proses pembuataanya, penulis mendapat banyak masukan dan kritik membangun dari berbagai pihak termasuk ketika saat sidang akhir. Kritik tersebut antara lain; kurangnya kedalaman makna teks sehingga memberikan kesan buku terlalu dokumentatif, pengaturan kontras hitam putih foto yang dirasa kurang digarap, dan banyak masukan lainnya.
Penulis sangat menghargai dan memperhatikan masukan dan kritik tersebut sebagai bagian dari proses pembelajaran yang harus dilalui. Semoga dengan selesainya tugas akhir ini, penulis dapat menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat.
Satu hal yang perlu dicermati mengenai eksistensi komunitas underground Bandung yaitu semangat militansi untuk terus mencari ruang ekspresi. Pergeseran budaya militansi yang sempat hilang dalam komunitas underground dan tergantikan dengan banyaknya sistem nilai ekonomi membuktikan bahwa semangat yang telah hilang ini bisa menjadi solusi pemecahan untuk eksistensi komunitas underground itu sendiri. Karena bagaimanapun komunitas ini awalnya hidup dari semangat militansi untuk membuat potensi berkreativitas tetap hidup, meski seringkali terhambat oleh halangan birokrasi yang ada.
Pasca tragedi AACC, eksistensi komunitas underground seperti hilang ditelan bumi dengan minimnya konser berlangsung akibat sulitnya memperoleh izin dan kurangnya venue representatif. Kini semangat untuk tetap militan yang membuat eksistensi komunitas ini terus hidup bernafas.
Konser yang dibikin ilegal, menjadi salah satu jiwa militansi komunitas underground tetap hidup berekspresi saat ini. Tentu saja ilegal dalam konteks ini berarti tanpa perlunya perizinan birokrasi dan segala tetek bengek administrasi. “Dari awalnya juga komunitas underground ini kan bermodalkan semangat militan. Apalagi ketika adanya tindakan represif dari pihak pemerintah dan birokrat, semangat militansi itu semakin muncul. Jika konser musik underground dilarang, kenapa kita tidak bikin konser secara ilegal saja. Jadinya semangat militansi itu yang muncul. Sederhananya yang penting konser jadi dan komunitas tetap berkarya, “ ujar Addy Gembel, vokalis band metal Forgotten yang seringkali terlibat dalam beberapa konser ilegal.
Menurut Addy, fenomena konser ilegal memang seringkali dibikin oleh komunitas underground bahkan jauh sebelum Tragedi AACC terjadi. Biasanya fenomena ini muncul ketika adanya keribetan dalam paparan birokrasi. “Yang penting konser jadi. Dibikin secara sederhana pun sudah oke, karena tujuan sebenarnya menjadikan konser itu sebagai media komunikasi antar komunitas. Tidak berpikir sebagai sistem ekonomi yang mesti ada profitnya,” lanjut Addy menambahkan.
Sebut saja Kampus UPI, UNPAR, ITENAS, Studio Gramma, Studio Jawara, Villa Putih Lembang, Student’s Cafe Taman Sari yang senantiasa menjadi venue alternatif untuk menyelenggarakan konser ilegal. Bagi komunitas underground ini tempat kecil dan pengap juga tidak masalah. Perihal sound system seadanya juga bukan hal yang patut dipikirkan. Bahkan dibikin secara patungan untuk bayar sewa tempat dan sound pun menjadi hal yang lumrah. Karena bagi mereka rasa persatuan komunitas yang lebih diutamakan. “Yang penting komunitas eksis aja dulu,” ujar Themfuck, vokalis band punk Jeruji yang seringkali tampil di Villa Putih Lembang. Venue tersebut menjadi salah satu langganan komunitas punk untuk menggelar konser. Bahkan tempat Villa Putih seringkali menjadi pilihan ketika ada band punk internasional yang mau manggung di Bandung yang dibikin tentu saja dalam skala terbatas.
Komunitas metal pun tak jauh beda. Apalagi komunitas metal ini tengah banyak disorot membuat eksistensi komunitas ini seolah sulit bergerak untuk menemukan ruangnya. “Pasca Tragedi AACC, ketika komunitas metal sulit mendapatkan panggung, kita pernah bikin konser ilegal di basemen Kampus Itenas dan kerjasama dengan mahasiswa setempat,” ujar Addy Gembel.
“Kita pernah bikin acara konser metal di Rancaekek. Dan rencananya kita bakal bikin konser ilegal secara rutin di tempat tersebut,” ujar Amenk, vokalis band metal Disinfected yang sering menginisiasi konser ilegal. Saat ini komunitas-komunitas underground lebih memilih tempat yang jauh dari pusat kota, seperti halnya Lembang atau Rancaekek. Apalagi belum adanya tempat representatif di kota Bandung dan berbelitnya proses birokrasi membuat komunitas underground menggeser ruang ekspresinya di pinggiran Kota Bandung.
Namun, tak lantas konser ilegal jadi semacam jalan keluar yang pasti. Rasa takut yang muncul akibat adanya pembubaran paksa atau protes warga setempat bisa jadi masalah bagi semangat militansi yang terus meluap. “Rasa takut atau perasaan khawatir selalu ada. Takut lagi enak-enaknya menikmati konser tiba-tiba dibubarin kan jadi hal yang tidak kita inginkan,” ujar Yongky yang pernah membuat konser musik hardcore/punk secara ilegal di basement Student’s Café Taman Sari. Yongky menambahkan, sempat ada protes warga perihal konser tersebut akibat adanya salah komunikasi. Apalagi konsernya itu dibikin di daerah pemukiman padat.
“Sebenarnya birokrasi masih agak ribet kalau mau bikin acara secara legal. Tapi asal sesuai prosedur yang disepakati oleh pihak berwajib, sebenarnya izin pasti turun dan gratis pula,” tutur Reza Ferdian, Ketua Panitia event organizer Sodom Movement yang mendatangkan band punk rock asal Inggris, Extreme Noise Terror beberapa waktu lalu.
Menurut Addy Gembel, jika saja tidak adanya kemacetan di level birokrasi dan pihak-pihak tertentu yang bisa mengakomodir komunitas underground sebagai potensi berkreativitas yang layak, bukan lantas memusuhi segala bentuk ekspresi komunitas underground. Apalagi konser ilegal di Studio Gramma pernah dibubarkan oleh pihak berwajib. Addy menambahkan bahwa dengan pembubaran konser ilegal menjadi sesuatu yang kontra-produktif. Justru seharusnya potensi kreativitas ini yang semestinya diakomodir. Jika semakin dikekang, komunitas ini bisa semakin militan.
Sayangnya, semangat militansi komunitas underground saat ini tidak merambah pada infrastruktur komunitas underground macam zines, indie label, event organizer (EO), dll. Padahal infrastruktur seperti itu bisa menjadi indikasi positif mengenai perkembangan komunitas underground. Minimnya zines bisa jadi salah satu indikasi betapa ada satu sistem yang salah dalam komunitas underground saat ini.
Kimung, editor zines Minorbacaankecil berpendapat, “Perkembangan zines di Bandung saat ini kurang banget. Sangat sedikit zines yang eksis. Padahal zines bagus untuk membangun sense of belonging dalam sebuah komunitas”. Kimung menambahkan ada semacam sistem dalam komunitas underground yang hilang saat ini. “Kalo melihat dari sejarahnya kan pengembangan komunitas itu ada langkah-langkahnya kayak ngumpul, ngobrol, diskusi, bikin zines, rekaman, bikin indie label, bikin konser, dsb. Nah, langkah-langkah itu ada yang hilang, salah satunya pembuatan zines tersebut,” lanjut penulis buku Myself Scumbag ini.
Semangat militansi yang hilang, menurut Kimung, bisa diakibatkan masalah kurangnya kesadaran dari para pelaku komunitas underground. Salah satunya mengapa lemahnya infrastruktur dalam komunitas underground saat ini kurangnya kesadaran untuk berbagi informasi antara komunitas satu dengan komunitas yang lain lewat jejaring yang dibangun. Padahal dengan adanya media komunikasi seperti zines bisa membangun keberlansungan komunitas ke arah yang lebih kuat.
Potensi Komunitas
Selain militansi, satu potensi komunitas underground Bandung saat ini yang dimiliki yaitu kekayaan komunitas yang ada didalamnya. Beragam komunitas yang dibangun menunjukkan satu potensi berkreativitas yang lebih kaya. “Bandung memiliki beragam komunitas underground. Beragam komunitas lebih bersifat komunal, dan kedepannya diharapkan bisa bersatu. Contohnya, kayak Helar Fest yang menyatukan berbagai komunitas di Bandung. Semangat persatuan ini yang dibutuhkan agar potensi berkreativitas Bandung menuju ke arah lebih baik. Mungkin bakal ada konflik, tapi itu bakal menciptakan komunitas lebih kritis, hidup, dan ramai,” ujar Kimung menjelaskan.
Komunitas-komunitas underground macam punk, hardcore, metal, pop, elektronik, dll. mulai rutin menggelar konser musik. Setelah sebelumnya seolah mati suri akibat kekangan birokrasi dampak dari Tragedi AACC. Komunitas-komunitas yang kian banyak dan solid ini bakal menumbuhkan suatu potensi berkreativitas yang kaya.
Komunitas musik elektronik, Openlabs misalnya, rutin menggelar acara musik elektronik di Prefere Café tiap awal bulan sejak dua bulan lalu, “perkembangan musik elektronik Bandung juga semakin banyak. Kayak even Electric Youth yang sudah jadi acara regular tiap awal bulan di Prefere Café. Open Labs sendiri memiliki jadwal acara regular bernama The Ostend tiap tiga bulan sekali,” tutur Okky Raditya, pegiat komunitas elektronik Open Labs. Salah satu agenda berikutnya komunitas ini yaitu event Nu-Substance, yang jadi salah satu agenda helatan akbar Helar fest. “Tujuan dari Nu-Substance sendiri pengen memberi tahu pada mata dunia internasional tentang potensi Bandung sebagai kota kreatif terutama dalam bidang musik elektronik, namun secara tujuan atau misi kita khususnya pengen mengedukasi masyarakat soal musik.Yah, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap musik elektronik,” sambungnya.
Komunitas-komunitas lainnya pun tak mau kalah. Komunitas musik grunge atau komunitas Purna mulai rutin menggelar konser launching album di Twank Café. Kemudian komunitas death-metal atau komunitas Bandung Death Metal Sindikat (BDSM) yang juga bagian dari komunitas Ujungberung Rebels bakal menggelar konser musik death-metal akbar bernama Deathfest untuk ketigakalinya. Acara Deathfest sendiri masuk dalam agenda Helar Fest.
“Kita ingin memadukan tradisi sunda dengan musik death metal. Karena zaman sekarang tradisi lokal dilupakan oleh anak-anak muda saat ini. Membawa kreativitas dan kearifan lokal lebih berbicara banyak,” ujar Okid, salah satu pegiat komunitas Bandung Death Metal Sindikat dan panitia Deathfest.
Untuk membuat potensi komunitas underground tetap hidup salah satunya yaitu regenerasi di dalam komunitas itu sendiri. Regenerasi antar pelaku-pelaku di dalam komunitas underground pun perlu dilakukan. “Komunitas punk terus bergerak dan berkembang. Yang manggung di Villa Putih pun tak hanya didominasi band lama, tapi banyak band punk baru yang sudah mulai tampil,” ujar Themfuck Jeruji menjelaskan. Hal yang sama pun terjadi di komunitas metal. “Saat ini komunitas Ujungberung Rebels sedang membuat kompilasi musik death metal, ‘Panceg Dina Jalur’ yang berisikan 22 band lama dan band baru. Tapi didominasi oleh band-band metal generasi saat ini. Banyak baru yang potensial. Mereka hanya kurang mendapat perhatian saja, untuk eksisnya pun hanya mengandlakan konser ilegal, Do It Yourself (DIY) di studio-studio,” papar Man, vokalis band metal Jasad.
Perpaduan antara militansi dan potensi komunitas menjadi salah satu bukti bahwa komunitas underground Bandung ini terus mencari ruang ekspresi, tanpa mempedulikan batu-batu kerikil yang mungkin mengganggu perjalanan mereka. Jika pada era 90-an komunitas underground bersifat militan karena dipengaruhi oleh kondisi sosial politik saat itu, kini sifat militansi muncul akibat kebebasan berekspresi yang dinginkan oleh komunitas underground tanpa ada batasan dan kekangan.
“Kayak ada semacam sejarah berulang soal militansi dan potensi komunitas underground saat ini dengan era sebelumnya. Namun zaman sekarang sama zaman dulu cuman beda budayanya saja,” ujar Kimung. Sementara Addy Gembel menambahkan, “ fenomena ini mirip perputaran pertengahan tahun 90-an. Ketika kita kesulitan untuk mengakses sesuatu, justru militansi yang semakin timbul. Potensi komunitas underground pun semakin banyak dan kian solid.” (@ Gifran M. Asri).


... Profil ...

Foto saya
Makassar, Indonesia
... Kami hanya ingin hidup BEBAS tanpa ada penindasan dan tertindas ...

... Komunitas ...