Langkah-langkah  yang diambil pemerintah dan kepolisian dalam menangani komunitas punk  terdapat beberapa kekeliruan. Sejak awal pemerintah dan kepolisian telah  lebih dulu memberikan stigma negatif kepada komunitas punk sebagai  perusuh, pembuat kekacauan dan pelaku kriminal. Seperti yang dikemukakan  Kapolda Aceh Irjen Pol Iskandar Hasan, bahwa komunitas punk merupakan  sumber penyakit masyarakat (Serambi Indonesia, 12/02/11). Pernyataan  Kapolda Aceh tersebut sama artinya dengan menyeragamkan komunitas punk  dengan pekerja seks komersial (PSK), pengedar narkotika, bahkan koruptor  yang sejatinya sumber penyakit masyarakat.
Dalam kajian kriminologi dikenal teori Labeling yang dikemukakan oleh Micholowsky. Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku seseorang atau kelompok yang dicap jahat menyebabkan orang/kelompok itu juga diperlakukan sebagai penjahat. Kemudian, terdapat kecenderungan di mana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya. Teori ini menyimpulkan bahwa “Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tetapi karena ditetapkan demikian oleh penguasa” (Prof. Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara; 2008).
Dalam kajian kriminologi dikenal teori Labeling yang dikemukakan oleh Micholowsky. Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku seseorang atau kelompok yang dicap jahat menyebabkan orang/kelompok itu juga diperlakukan sebagai penjahat. Kemudian, terdapat kecenderungan di mana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya. Teori ini menyimpulkan bahwa “Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tetapi karena ditetapkan demikian oleh penguasa” (Prof. Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara; 2008).
Persis  seperti yang dialami komunitas punk saat ini. Komunitas punk yang  diberikan label jahat oleh pemerintah dan kepolisian pada akhirnya  diperlakukan sebagai penjahat. Seperti yang kita lihat saat belasan anak  punk dicukur rambutnya oleh Satpol PP (Serambi Indonesia, 11/02/11).  Bagi anak punk, rambut merupakan salah satu simbol identitas mereka.  Tapi kemudian pemerintah menilai rambut gaya punk sebagai bagian dari  bentuk kejahatan yang harus dihilangkan. Inilah bentuk kriminalisasi  punk!
Bukan  hanya rambut yang dicukur, anak-anak punk yang ditangkap juga ditahan  di dalam sel tahanan Satpol PP. Pola penanganan itu akan membawa dampak  secara psikologis ke kejiwaan. Karena perlakuan yang mereka terima sama  dengan pelaku tindak kejahatan lain. Sedangkan para koruptor saja masih  bebas berkeliaran. Lambat laun, perlakuan dan kecenderungan penguasa  yang memberikan stigma negatif, akan menjadikan komunitas punk akan  menyesuaikan diri dengan stigma dan label yang diberikan. Apabila itu  terjadi maka musnahlah stigma umum bahwa punk adalah komunitas gerakan sub culture  yang hadir sebagai kritik sosial atas kondisi yang terjadi. Kritik yang  disampaikan lewat musik, lirik lagu dan ragam seni lain. Termasuk cara  mereka berpakaian juga menjadi bagian dari kritik; sepatu boots  dilambangkan anti militerisme dan penindasan, rantai sebagai simbol  persatuan, celana gantung-baju lusuh lambang kesederhanaan dan anti  kemapanan, serta rambut Mohawk diadopsi dari model rambut suku Indian Mohawk di Amerika yang dijajah kolonialisme Inggris. Jadi, fashion  yang mereka gunakan bukan tanpa makna, melainkan bagian dari kritik  sosial mereka terhadap kondisi yang dialami masyarakat dunia.
Upaya  paling tidak tepat adalah ide yang dikemukakan oleh Kapolda Aceh, bahwa  anak-anak punk yang tertangkap akan dibina di Pusat Pendidikan (Pusdik)  Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah. SPN Seulawah yang notabene  nya merupakan tempat pendidikan prajurit polisi yang sedang belajar ilmu  kepolisian, keamanan dan latihan fisik ala militer, dijadikan tempat  pembinaan anak-anak punk yang hidup dijalanan dengan watak dan  kepribadian yang “tak lazim”.
Kepolisian  sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian  memang memiliki fungsi pengayoman masyarakat, namun bukan berarti  kepolisian lantas bisa serta merta membina anak punk dan membawa mereka  ke SPN Seulawah. Harus diingat bahwa dominasi anak punk berusia remaja.  Mereka dilindungi oleh UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.  Seharusnya bukan kepolisian yang berkewajiban untuk membina mereka,  melainkan Dinas Sosial atau lembaga lain yang diberikan kewenangan oleh  UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak untuk mengurusi dan  membina anak-anak punk yang oleh pemerintah diasumsikan dalam kategori  kenakalan remaja.
Apabila  pemerintah dan kepolisian tetap bersikukuh untuk mendidik anak-anak  punk di SPN Seulawah, harus dijelaskan apakah Kapolda sudah menyiapkan  polisi yang ahli dalam ilmu psikologi remaja dan memahami punk secara  benar? Apakah Polda Aceh memiliki anggaran biaya pembinaan dan makanan  yang layak bagi ratusan anak punk?  Pun bila anak-anak punk jadi dikirim  ke SPN Seulawah, kepolisian termasuk pemerintah mempunyai celah untuk  dituntut pidana karena telah melanggar hak-hak anak sebagaimana diatur  dalam Bab XII Pasal 77 UU Perlindungan Anak.
Terus  terang saya khawatir apabila kebijakan tersebut sampai dilaksanakan.  Kekhawatiran utama adalah anak-anak punk tersebut rawan menjadi korban  tindak kekerasan. Watak mereka yang keras dan cenderung melawan  berpotensi menghilangkan kesabaran polisi yang membina, ujung-ujungnya  mereka bisa menjadi “samsak hidup” aparat kepolisian. Apabila sampai  terjadi tentu saja hal ini merupakan bentuk pelanggaran HAM serius.  Kekhawatiran diatas barangkali dapat menjadi early warning bahwa pemerintah harus memilih langkah yang tepat dalam menangani masalah komunitas punk ini. 
Pahami Masalah
Pemerintah  semestinya harus memahami dengan baik duduk permasalahan dan konteks  sosial perkembangan komunitas punk di Aceh. Misalnya, menyeragamkan  komunitas punk dengan geng motor tidak tepat. Walau sama-sama hidup di  jalanan, mereka memiliki ciri, ekspresi, kreasi bahkan idiologi yang  sama sekali berbeda. Dengan ciri khas tersendiri, punk mengekspresikan  diri lewat fashion dan musik. Melalui kreasi lagu-lagu kritik  sosial, dan mengusung idiologi pembebasan dan anti kemapanan. Sedangkan  geng motor, juga dengan ciri khas tersendiri, mengekspresikan diri lewat  sepeda motor dan ngebut dijalanan. Kreasi mereka adalah modifikasi  motor. Mulai dari modifikasi motor yang sedap dipandang mata hingga yang  memekakkan telinga. Dan geng motor memiliki “solidaritas” ala geng yang  menjadi pedoman komunitas mereka.
Bukan  hal baru kedua komunitas ini di identikkan dengan pelaku kriminal. Di  kota besar seperti Jakarta, komunitas punk kerap terlibat dengan  perkelahian. Geng motor juga demikian, masyarakat sempat digegerkan  dengan aksi tawuran genk motor yang terjadi di Bandung pada tahun 2009.  Namun akhirnya geng motor Bandung berhasil dibujuk oleh aparat  kepolisian untuk menghentikan tindakan anarkis dan memberikan seruan  damai (tempointeraktif,2010).  Hal tersebut membuktikan bahwa komunitas punk atau genk motor punya  kesempatan untuk diajak berdialog dan diberikan kesempatan untuk  memperlihatkan kreativitas positif yang mereka miliki.
Di  Banda Aceh, komunitas punk dan geng motor adalah dua komunitas yang  sebenarnya sudah lama ada dan mengalami pasang surut eksistensi. Khusus  bagi komunitas punk, saya melihat mereka sudah ada sejak tahun 2000.  Mereka memilih berkreasi di jalur musik. Tampil dari panggung festival  satu ke panggung festival yang lain. Berkumpul di tempat publik seperti  Taman Budaya atau taman Putroe Phang sambil menulis lirik dan  menciptakan lagu. Baru sekarang komunitas punk begitu berkembang pesat.
Saya  sempat berinteraksi dengan Juanda alias Lowbet dari komunitas punk  Tanggoel Rebel. Juanda menuturkan, “anak punk sekarang banyak yang  berasal dari Medan. Di Medan mereka kehilangan ‘lapak’. Anak-anak punk  Medan yang kemari bertahan hidup dijalan dengan mengamen”. Kehadiran  anak-anak punk dari Medan tidak dapat diartikan bahwa punk di Aceh  berkembang karena dipengaruhi anak punk dari daerah lain. Karena punk  sendiri adalah sebuah ideologi yang dapat terus berkembang menembus  batas geografis dan demografis.
Maka,  pemerintah dan kepolisian seharusnya dapat jeli melihat dan membaca  dinamika komunitas punk atau genk motor sekarang. Tidak semua yang  urakan adalah anak punk. Tidak semua yang ngebut adalah geng motor. Dan  tidak semua yang berkomplotan di jalan dan membuat kerusuhan adalah  keduanya. Bisa jadi salah satu diantara mereka. Atau bisa pula kelompok  kriminal murni.
Menggunakan  cara-cara represif seperti merazia, menangkap, mencukur paksa, dan  menahan anak-anak punk bukanlah cara bijak. Mereka yang berkarakter  pemberontak pasti akan makin kuat dan terus bertambah jumlahnya. Karena  merasa telah menemukan “lawan”, yang selama ini menjadi bagian dari  lirik lagu kritik sosial mereka. Jika sekarang jumlahnya ratusan,   apabila terus direpresif yakinlah kalau nanti jumlahnya akan menjadi  ribuan. Anak-anak punk tentu tidak akan membela diri dengan ber-argumen  tentang hak warga negara, berkumpul dan berekpresi dilindungi  konstitusi, atau berlindung dibawah hukum dan sistem negara. Karena  sejak awal mereka adalah kelompok yang tidak percaya akan hukum maupun  negara. Mereka akan melawan dengan cara-cara mereka sendiri, dengan  lirik kritik sosial yang mereka cipta.
Lebih  bijak apabila pemerintah dan kepolisian mengajak berdialog komunitas  punk atau geng motor. Tanya apa keinginan mereka. Fasilitasi keinginan  mereka untuk berekspresi namun tetap berada dalam koridor hukum.  Identifikasi mana-mana kelompok yang memang melakukan tindakan kriminal,  seperti geng motor Dabaribo yang melakukan penikaman terhadap pelajar  SMA. Kemudian ambil tindakan-tindakan preventif untuk mencegah tindakan  kriminal terulang, bukan dengan kriminalisasi. Siapapun yang bertindak  kriminal wajib dihukum. Kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat  harus dipenuhi. Menghadapi anak punk atau genk motor yang dalam usia  remaja harus dipikirkan metode penyelesaian komprehensif dan cara yang  lebih bijak, bukan represif tapi persuasif. [] M. FAUZAN FEBRIANSYAH | Aktivis, Paralegal LBH Banda Aceh

