Potongan rambut gaya mohawk ala suku Indian, celana jins ketat dan baju lusuh, tak ketinggalan jaket kulit hitam, menghiasi tubuh-tubuh kerempeng mereka. Tak ketinggalan pula sepatu boots, rantai dan spike juga berbagai pin melekat di jaket, dan tas mereka.
Melihat busana serta penampilan mereka secara keseluruhan, tersirat kesan bahwa mereka adalah sekelompok anak muda yang bersifat antikemapanan, antisosial, biang kerusuhan, suka berbuat kriminal, pemabuk dan lain-lain. Tak heran jika banyak orang (penumpang) memandang sinis dan curiga ke arah anak-anak muda yang dikenal sebagai Komunitas Marjinal (punk-nya Indonesia) itu.
Saat mereka melintas di dalam gerbong yang sedang tidak penuh sesak itu, seorang ibu hamil nyeletuk sambil membuang muka, “Amit-amit, jangan sampe anakku kayak gitu”. Dan celetukan itu agaknya tertangkap kuping salah seorang rombongan itu. Anak-anak muda punky itu bukan marah atau tersinggung. Tapi celetukan tadi hanya dibalas dengan senyum manis oleh salah seorang di antara mereka.
Banyak orang mengira komunitas yang lahir dari gerakan anak muda yang berasal dari golongan pekerja di London, Inggris ini adalah komunitas yang dekat dengan tindak kejahatan (kriminal). Komunitas Marjinal itu dipandang sebagai tempat sekumpulan anak muda yang berbahaya, bahkan pernah diisukan sebagai tempat berkumpulnya pengikut setan. Ck..ck..ck…
Sebenarnya Komunitas Marjinal itu seperti apa? Di Indonesia, Komunitas Marjinal lahir tak terlepas dari kondisi masyarakat yang tertindas, mengalami masalah ekonomi dan keuangan gara-gara kemerosotan moral yang diperlihatkan para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Komunitas yang notabene beranggotakan anak muda ini lebih mengaktualisasikan dirinya menyebar ke berbagai sub-komunitas seperti, Taring Babi, AFRA (Anti Fasis Anti Rasis), dan Tempe Quality.
Marjinal sebenarnya adalah komunitas yang terbuka untuk siapa saja yang ingin ikut melawan penindasaan. Dengan berlandaskan pada keyakinan We can do it ourselves, mereka melakukan perlawanan dengan cara-cara unik, aktif, kreatif, dan tentunya, adil. Cara-cara itu seperti lewat graffiti, cukil, sablun, emblem, pin. Rumah Komunitas Marjinal, selain sebagai home base, juga sebagai media pendidikan dan distro.
Aktivitas seharian komunitas ini biasanya diisi dengan bermain musik, sebab musik bagi mereka adalah media dan cara untuk mengekspresikan diri dan “ideologi”. Lirik-lirik lagu mereka bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan lain-lain.
Selain bermusik, Marjinal juga terlibat aktif dalam gerakaan perlawanan terhadap sistem tiran yang menghegemoni. Marjinal juga sering melakukan pengorganisiran dan bekerja sama dengan komunitas lain.
Meski komunitas ini dijauhi banyak orang, namun di kalangan anak muda, komunitas ini sangatlah digemari. Entah karena mereka benar-benar mengerti betul apa seluk-beluk tentang marjinal, atau sekadar ikut-ikutan. Namun yang jelas, ini adalah potret anak muda kita, karena itu seharusnya tak kita pandang nista apalagi mencibir dan meminggirkan mereka. ? Slamet Wiyono
sumber:www.reformata.com
0 komentar:
Posting Komentar